Minggu, 28 Juni 2015

"Senyawa" : Ketika Tembang Ave Maria bertemu Kumandang Adzan



Perlu kehati-hatian yang sangat ekstra apabila ingin mengangkat film yang bertema atau sekedar bersinggungan dengan yang namanya kehidupan beragama apalagi hingga menyerempet isu-isu yang masih terasa sensitif. Masyarakat Indonesia memang belum semuanya dewasa dan terlalu sensitif apabila dipertontonkan film bermuatan agama dan permasalahan akan toleransi dimasyarakat. Banyak pertimbangan dan pertentangan bila ingin membuat film bertema ini. Lihat saja bagaimana muncul pro-kontra bahkan sampai aksi boikot terhadap film Tanda Tanya karya Hanung Bramantyo beberapa tahun silam. Namun begitu, Raphael Wregas Bhanuteja dengan berani menyuguhkan sebuah interaksi antar agama dengan lingkup kecil bernama keluarga dalam karyanya yang berjudul Senyawa.

Senyawa berkisah tentang Retno (Alice Putri) yang bersusah payah melawan kebisingan disekitarnya agar dapat merekam suaranya dalam menyanyikan lagu Ave Maria yang ingin dia persembahkan sebagai hadiah ulang tahun mendiang ibunya. Hingga sebuah percakapan berdua di meja makan dengan ayahnya (Jay Wijayanto) melahirkan sebuah solusi agar Retno mampu mendapat suasana hening agar dapat merekam Ave Maria dengan maksimal.


Selintas bila membaca sinopsis yang penulis uraikan diatas, mungkin Senyawa tak begitu terasa istimewa. Namun kondisi sebenarnya dalam senyawa Retno besar dengan ayah yang seorang muslim dan ibu beragama Kristen. Hal ini sangat jelas terlihat di awal film ketika Retno mengeroki ibunya dan timbul percakapan mengenai lagu Ave Maria yang sangat disukai sang ibu hingga persoalan nama baptis mereka berdua. Dilain ruangan sang ayah sedang menunaikan ibadah sholat. Jelas sudah penonton telah diperlihatkan kekontrasan yang terjadi dalam keluarga Retno. Lantas tak terlihat ada selisih antara mereka. Keluarga Retno divisualisasikan saling beriringan dalam perbedaan dan terlihat harmonis.


Ada yang coba dilawan oleh Retno demi menuntaskan misinya menyanyikan lagu Ave Maria untuk mendiang ibunya, kebisingan. Sebagai warga yang tinggal di Manggarai yang merupakan daerah padat penduduk, keheningan sebagai syarat mutlak demi kekhusyuan Retno untuk menghasilkan rekaman yang baik pun menjadi barang mewah yang sangat sulit diraih. Ada saja gangguan seperti suara rekaman dari penjual susu kedelai keliling, segerombolan anak bermain petasan, hingga pertengkaran seorang ibu warteg yang tak terima suaminya hanya enak-enakan main karambol. Ketika semua kebisingan itu mendadak hilang dan dirasa Retno saat yang pas untuk memulai merekam suaranya menyanyikan lagu Ave Maria, kumandang Adzan menyambar dari Toa Masjid memecah keheningan. Suara Adzan yang dikumandangkan ayah Retno. Retno pun kembali merasa terganggu. Bagi Retno suara Adzan tak beda dengan suara lain yang menggangu ketenangannya. Mungkin saja juga bagi beberapa penonton yang menyaksikan film ini. Senyawa seakan mencoba membuka ruang diskusi (Yang tentu saja jangan berakhir dengan pertikaian) perihal penggunaan toa masjid untuk kepentingan agama yang kadang “kesempatan” demikian tak bisa dinikmati oleh beberapa agama lain. Semua kembali lagi kepada masing-masing penonton dalam menyikapinya.
Ketika film yang bernuansa sejenis dimana kehidupan antar agama (Dan problematikanya tentu saja) coba mengangkat isu perbedaan kemudian dicari jalan toleransinya, Senyawa melakukan hal yang berbeda. Senyawa menampilkan interaksi antara seorang ayah dan anak beda agama dengan mengikis jurang pemisah setipis mungkin hingga menimbulkan kesenyawaan yang membuat mereka  terasa “sama” hanya beda “cara”. Perbedaan kontras inilah yang dilebur dengan sederhana dengan rasa khas kekeluargaan dan mengedepankan bahwa cinta mampu menghapus batasan-batasan yang bahkan dirasa kontras dan sangat sensitif sekalipun. Perbedaan yang terlihat pada keluarga Retno malah membuat mereka saling menghargai dan mengasihi.

Menarik ketika sosok ayah mampu sangat bersahabat dengan Eva Maria dan Retno mampu akrab dengan ayat suci Al-Qur’an. Dan kedua hal tersebut dilakukan dalam satu atap dimana bahwa kita tahu beberapa orang masih anti rumahnya digunakan untuk ibadah agama lain, bahkan untuk orang terdekatnya sekalipun. Dalam Senyawa penonton merasakan apa yang dirasakan Retno dan ayahnya bahwa rasanya nyaris tak ada dinding pemisah antar mereka. Dua agama dalam satu atap melebur halus dengan dalam hubungan cinta. Terlihat manis walau jelas tak semua orang bisa menerima ini. Kisah seperti ini bisa dijumpai disekitar kita dimana dua insan masih bisa bersatu tanpa memaksakan keyakinan masing-masing. Kembali lagi Senyawa menampilkannya kedalam konteks keluarga, dimana setiap anggota keluarga siap menerima apapun kondisi anggota keluarga yang lain dan tetap menyayangi mereka layaknya sebuah keluarga. Ada bagian dimana Ave Maria milik Retno berbaur dalam satu tempo dengan lantunan ayat ayat AL- Qur’an Ayah Retno. Masing-masing masih terdengar kuat dan jelas walau dalam adegannya di blend menjadi satu. Tentu saja adegan ini mampu menimbulkan interpretasi masing-masing bagi penonton dan kembali lagi ke penonton untuk menilai adegan ini.

Senyawa merupakan film pendek tahun 2012, lahir 2 tahun sebelum Lembusura dan 3 tahun sebelum Lemantun. Sengaja penulis menyebut dua film itu karena melalui dua film itulah penulis “berkenalan” dengan nama Raphael Wregas Bhanuteja, salah satu sutradara film pendek muda yang terlihat punya masa depan di industri perfilman Indonesia melihat sederetan prestasi baik didalam maupun luar negeri. Dengan umur yang masih muda, 22 tahun, alumni FFTV IKJ ini telah mampu mencuri perhatian para pemerhati film (Film pendek terutama) dengan karya-karya yang sering mengangkat hal yang dekat dengan penonton, seperti interaksi keluarga beserta problematikanya dengan solusi yang sederhana khas keluarga. Ada catatan pribadi ketika melihat adegan Retno masuk kedalam lemari untuk mencari ketenangan diri, mengingatkan saya dengan salah satu adegan di Lemantun. Hingga akhirnya penulis punya penyimpulan pribadi apabila Loeloe Hendra terobsesi dengan nama dalam karya-karyanya hingga akhirnya muncul Onomastika, Wregas terobsesi dengan lemari hingga akhirnya tahun 2015 Lemantun rilis dimana pencapaian yang sangat baik atas ketertarikannya dengan lemari. Mungkin saja.


Wregas piawai mengeksplor emosi interaksi keluarga lengkap dengan segala problematikanya melalui cara yang sederhana namun mampu melibatkan nurani penonton kala menonton karyanya. Tak muluk-muluk memang solusi atau penyelesaian yang disuguhkan Wregas untuk mengakhiri Senyawa walau terasa agak dipaksakan. Namun sisi kerendahan hati para karakter yang bermain dalam Senyawa dapat terasa ke penonton. Tak ada perdebatan soal perbedaan. Bagaikan judulnya, segala perbedaan menjadi terasa manis dan membentuk Senyawa. Mengutip kalimat yang sedang naik daun saat penulis menulis review ini, #LoveWins , di Senyawa yang menang kisah cinta Retno-Ayahnya-dan tentu saja Mendiang Ibunya. Hingga akhirnya Senyawa mampu menjadi salah satu pilihan tontonan dalam memperingati toleransi antar agama yang tak begitu banyak menghakimi atau berbicara tentang teori-teori hingga fatwa mengenai agama. Sebuah persembahan yang murni dari hati hingga akhirnya menyadarkan bahwa perbedaan yang kontras sekalipun masih bisa berjalan beriringan dan menghasilkan harmonisasi yang indah dalam interaksi sesama manusia. 

2 komentar:

  1. Halo Mas, nampaknya agama Lucia dan Ibunya Kristen Katolik bukan Kristen saja, karena kalau hanya Kristen orang berpikir Kristen Protestan. Salam damai. :)

    BalasHapus