Perlu kehati-hatian yang sangat ekstra apabila ingin
mengangkat film yang bertema atau sekedar bersinggungan dengan yang namanya kehidupan
beragama apalagi hingga menyerempet isu-isu yang masih terasa sensitif.
Masyarakat Indonesia memang belum semuanya dewasa dan terlalu sensitif apabila
dipertontonkan film bermuatan agama dan permasalahan akan toleransi
dimasyarakat. Banyak pertimbangan dan pertentangan bila ingin membuat film
bertema ini. Lihat saja bagaimana muncul pro-kontra bahkan sampai aksi boikot
terhadap film Tanda Tanya karya
Hanung Bramantyo beberapa tahun silam. Namun begitu, Raphael Wregas Bhanuteja dengan
berani menyuguhkan sebuah interaksi antar agama dengan lingkup kecil bernama
keluarga dalam karyanya yang berjudul Senyawa.
Senyawa berkisah
tentang Retno (Alice Putri) yang bersusah payah melawan kebisingan disekitarnya
agar dapat merekam suaranya dalam menyanyikan lagu Ave Maria yang ingin dia
persembahkan sebagai hadiah ulang tahun mendiang ibunya. Hingga sebuah
percakapan berdua di meja makan dengan ayahnya (Jay Wijayanto) melahirkan
sebuah solusi agar Retno mampu mendapat suasana hening agar dapat merekam Ave
Maria dengan maksimal.
Selintas bila membaca sinopsis yang penulis uraikan diatas, mungkin Senyawa tak begitu terasa istimewa.
Namun kondisi sebenarnya dalam senyawa
Retno besar dengan ayah yang seorang muslim dan ibu beragama Kristen. Hal ini
sangat jelas terlihat di awal film ketika Retno mengeroki ibunya dan timbul
percakapan mengenai lagu Ave Maria yang sangat disukai sang ibu hingga
persoalan nama baptis mereka berdua. Dilain ruangan sang ayah sedang menunaikan
ibadah sholat. Jelas sudah penonton telah diperlihatkan kekontrasan yang
terjadi dalam keluarga Retno. Lantas tak terlihat ada selisih antara mereka.
Keluarga Retno divisualisasikan saling beriringan dalam perbedaan dan terlihat
harmonis.
Ada yang coba dilawan oleh Retno demi menuntaskan misinya
menyanyikan lagu Ave Maria untuk mendiang ibunya, kebisingan. Sebagai warga
yang tinggal di Manggarai yang merupakan daerah padat penduduk, keheningan
sebagai syarat mutlak demi kekhusyuan Retno untuk menghasilkan rekaman yang
baik pun menjadi barang mewah yang sangat sulit diraih. Ada saja gangguan
seperti suara rekaman dari penjual susu kedelai keliling, segerombolan anak bermain
petasan, hingga pertengkaran seorang ibu warteg yang tak terima suaminya hanya
enak-enakan main karambol. Ketika semua kebisingan itu mendadak hilang dan
dirasa Retno saat yang pas untuk memulai merekam suaranya menyanyikan lagu Ave
Maria, kumandang Adzan menyambar dari Toa Masjid memecah keheningan. Suara
Adzan yang dikumandangkan ayah Retno. Retno pun kembali merasa terganggu. Bagi
Retno suara Adzan tak beda dengan suara lain yang menggangu ketenangannya.
Mungkin saja juga bagi beberapa penonton yang menyaksikan film ini. Senyawa seakan mencoba membuka ruang
diskusi (Yang tentu saja jangan berakhir dengan pertikaian) perihal penggunaan
toa masjid untuk kepentingan agama yang kadang “kesempatan” demikian tak bisa
dinikmati oleh beberapa agama lain. Semua kembali lagi kepada masing-masing penonton
dalam menyikapinya.
Ketika film yang bernuansa sejenis dimana kehidupan antar
agama (Dan problematikanya tentu saja) coba mengangkat isu perbedaan kemudian
dicari jalan toleransinya, Senyawa melakukan hal yang berbeda. Senyawa menampilkan interaksi antara
seorang ayah dan anak beda agama dengan mengikis jurang pemisah setipis mungkin
hingga menimbulkan kesenyawaan yang membuat mereka terasa “sama” hanya beda “cara”. Perbedaan
kontras inilah yang dilebur dengan sederhana dengan rasa khas kekeluargaan dan
mengedepankan bahwa cinta mampu menghapus batasan-batasan yang bahkan dirasa
kontras dan sangat sensitif sekalipun. Perbedaan yang terlihat pada keluarga
Retno malah membuat mereka saling menghargai dan mengasihi.
Menarik ketika sosok ayah mampu sangat bersahabat dengan Eva
Maria dan Retno mampu akrab dengan ayat suci Al-Qur’an. Dan kedua hal tersebut
dilakukan dalam satu atap dimana bahwa kita tahu beberapa orang masih anti
rumahnya digunakan untuk ibadah agama lain, bahkan untuk orang terdekatnya
sekalipun. Dalam Senyawa penonton
merasakan apa yang dirasakan Retno dan ayahnya bahwa rasanya nyaris tak ada
dinding pemisah antar mereka. Dua agama dalam satu atap melebur halus dengan
dalam hubungan cinta. Terlihat manis walau jelas tak semua orang bisa menerima
ini. Kisah seperti ini bisa dijumpai disekitar kita dimana dua insan masih bisa
bersatu tanpa memaksakan keyakinan masing-masing. Kembali lagi Senyawa
menampilkannya kedalam konteks keluarga, dimana setiap anggota keluarga siap
menerima apapun kondisi anggota keluarga yang lain dan tetap menyayangi mereka
layaknya sebuah keluarga. Ada bagian dimana Ave Maria milik Retno berbaur dalam
satu tempo dengan lantunan ayat ayat AL- Qur’an Ayah Retno. Masing-masing masih
terdengar kuat dan jelas walau dalam adegannya di blend menjadi satu. Tentu saja adegan ini mampu menimbulkan
interpretasi masing-masing bagi penonton dan kembali lagi ke penonton untuk
menilai adegan ini.
Senyawa merupakan
film pendek tahun 2012, lahir 2 tahun sebelum Lembusura dan 3 tahun sebelum Lemantun.
Sengaja penulis menyebut dua film itu karena melalui dua film itulah penulis “berkenalan”
dengan nama Raphael Wregas Bhanuteja, salah satu sutradara film pendek muda
yang terlihat punya masa depan di industri perfilman Indonesia melihat
sederetan prestasi baik didalam maupun luar negeri. Dengan umur yang masih
muda, 22 tahun, alumni FFTV IKJ ini telah mampu mencuri perhatian para
pemerhati film (Film pendek terutama) dengan karya-karya yang sering mengangkat
hal yang dekat dengan penonton, seperti interaksi keluarga beserta
problematikanya dengan solusi yang sederhana khas keluarga. Ada catatan pribadi
ketika melihat adegan Retno masuk kedalam lemari untuk mencari ketenangan diri,
mengingatkan saya dengan salah satu adegan di Lemantun. Hingga akhirnya penulis punya penyimpulan pribadi
apabila Loeloe Hendra terobsesi dengan nama dalam karya-karyanya hingga
akhirnya muncul Onomastika, Wregas
terobsesi dengan lemari hingga akhirnya tahun 2015 Lemantun rilis dimana pencapaian yang sangat baik atas
ketertarikannya dengan lemari. Mungkin saja.
Wregas piawai mengeksplor emosi interaksi keluarga lengkap dengan
segala problematikanya melalui cara yang sederhana namun mampu melibatkan
nurani penonton kala menonton karyanya. Tak muluk-muluk memang solusi atau
penyelesaian yang disuguhkan Wregas untuk mengakhiri Senyawa walau terasa agak dipaksakan. Namun sisi kerendahan hati
para karakter yang bermain dalam Senyawa dapat terasa ke penonton. Tak ada
perdebatan soal perbedaan. Bagaikan judulnya, segala perbedaan menjadi terasa
manis dan membentuk Senyawa. Mengutip kalimat yang sedang naik daun saat
penulis menulis review ini, #LoveWins , di Senyawa
yang menang kisah cinta Retno-Ayahnya-dan tentu saja Mendiang Ibunya. Hingga
akhirnya Senyawa mampu menjadi salah
satu pilihan tontonan dalam memperingati toleransi antar agama yang tak begitu
banyak menghakimi atau berbicara tentang teori-teori hingga fatwa mengenai
agama. Sebuah persembahan yang murni dari hati hingga akhirnya menyadarkan bahwa
perbedaan yang kontras sekalipun masih bisa berjalan beriringan dan
menghasilkan harmonisasi yang indah dalam interaksi sesama manusia.
Halo Mas, nampaknya agama Lucia dan Ibunya Kristen Katolik bukan Kristen saja, karena kalau hanya Kristen orang berpikir Kristen Protestan. Salam damai. :)
BalasHapusFilm nya bagus aku udah nonton :)
BalasHapusNonton film horror
Download film horror