Senin, 29 Juni 2015

"Joshua" : Belajar Tanggung Jawab Dari Anak SD



“Jangan sampai biji jeruknya termakan, nanti pohon jeruk akan tumbuh diperut kita dan tumbuh tinggi hingga menembus kepala.” Ada yang pernah mendengar mitos ini saat masih kanak-kanak? Dan siapa yang saat itu percaya?. Lucu memang bila mengingat-ingat ketika masih belia, banyak anak-anak yang hidupnya “dihantui” oleh mitos-mitos yang dengan lugunya dipercaya dan bahkan hingga menimbulkan rasa takut sendiri. Motifnya beragam, diantaranya merupakan salah satu cara orangtua untuk mencegah anaknya untuk melakukan hal yang tidak dikehendakinya. Mitosnya pun beragam, ada yang beraroma fantasi seperti “Kalau ada bintang jatuh lalu memohon sebuah permintaan, maka akan dikabulkan” hingga berbau klenik dan mistis seperti “Jangan main saat maghrib, nanti diculik perempuan seram dengan payudara menjulur kebawah bernama kolong wewe”. Tak dipungkiri, mitos-mitos inilah bisa dikatakan warisan budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia dan tentu saja memberikan warna serta cerita lucu masa kecil kita (Terutama penulis) karena begitu lugunya hingga mempercayai hal sekonyol itu.

Mitos masa kecil dan eksploitasi keluguan anak-anak inilah yang menjadi pondasi cerita utama dalam film pendek berjudul Joshua. Dikisahkan Joshua atau yang akrab dipanggil Jojo (Jonathan Valentino Salim), siswa Sekolah Dasar yang selain sekolah dia juga “bekerja sambilan” sebagai “Bandar” gundu atau kelereng ke teman sejawatnya. Pada saat pelajaran olahraga, Jojo tanpa sengaja mencium pipi teman perempuannya bernama Lili (Dherya Monic). Ada mitos salah gaul yang tumbuh dikalangan anak-anak Sekolah Dasar bahwa ciuman (walaupun hanya pipi) dapat menimbulkan kehamilan. Semenjak saat itu Jojo dan Lili beranggapan bahwa Lili akan hamil. Diperparah dengan atmosfer yang dibuat oleh teman-teman sekelasnya, akhirnya bocah SD dengan ciri khas tas ala koper roda berwarna merah bergambar 101 Dalmantions ini pun merasa harus bertanggung jawab atas “hamilnya” Lili.

Minggu, 28 Juni 2015

"Senyawa" : Ketika Tembang Ave Maria bertemu Kumandang Adzan



Perlu kehati-hatian yang sangat ekstra apabila ingin mengangkat film yang bertema atau sekedar bersinggungan dengan yang namanya kehidupan beragama apalagi hingga menyerempet isu-isu yang masih terasa sensitif. Masyarakat Indonesia memang belum semuanya dewasa dan terlalu sensitif apabila dipertontonkan film bermuatan agama dan permasalahan akan toleransi dimasyarakat. Banyak pertimbangan dan pertentangan bila ingin membuat film bertema ini. Lihat saja bagaimana muncul pro-kontra bahkan sampai aksi boikot terhadap film Tanda Tanya karya Hanung Bramantyo beberapa tahun silam. Namun begitu, Raphael Wregas Bhanuteja dengan berani menyuguhkan sebuah interaksi antar agama dengan lingkup kecil bernama keluarga dalam karyanya yang berjudul Senyawa.

Senyawa berkisah tentang Retno (Alice Putri) yang bersusah payah melawan kebisingan disekitarnya agar dapat merekam suaranya dalam menyanyikan lagu Ave Maria yang ingin dia persembahkan sebagai hadiah ulang tahun mendiang ibunya. Hingga sebuah percakapan berdua di meja makan dengan ayahnya (Jay Wijayanto) melahirkan sebuah solusi agar Retno mampu mendapat suasana hening agar dapat merekam Ave Maria dengan maksimal.

Sabtu, 06 Juni 2015

"Iblis Jalanan" : Menggila Pada Tempatnya


Sekelompok pembalap liar yang sering menggunakan jalan umum ibukota sebagai lintasan balapnya jelas bagaikan iblis yang mengusik pengendara lain dalam berlalulintas. Jalanan dirasa milik mereka sendiri dan dijadikan arena balap motor yang tak hanya uang yang jadi bahan taruhannya, namun juga nyawa mereka sendiri bahkan nyawa pengendara umum yang sedang melintas ikut terancam. Ada yang bangga menjadi pembalap liar karena dianggap punya nyali yang besar. Walau sering dilakukan razia oleh polisi, namun keberadaan para “iblis jalanan” ini sulit untuk dibasmi. Melihat fenomena inilah, film dokumenter pendek berjudul Iblis Jalanan seakan memberikan solusi bagi mereka yang memang bangga punya nyali besar dengan “kuda besinya” untuk meluapkan nyali besarnya dengan menggila pada tempatnya di arena tong setan.

Iblis Jalanan merupakan film dokumenter pendek yang terinspirasi dari lagu berjudul Iblis Jalanan milik Bangkutaman. Film ini berkisah tentang kehidupan serta sisi lain dari para pembalap tong setan di sebuah pasar malam. Adalah Eko dan Abdul, dua rider tong setan yang tak hanya pamer kebolehan dalam atraksi penuh resiko namun juga membagi cerita dibalik penampilan mereka serta pengalaman mereka selama berkecimpung di dunia per-tong setan-an dan lika-liku pasa malam keliling. Selama 10 menit durasi film, Penonton akan diajak menyelami kehidupan dan keseharian Eko dan Abdul di arena tong setan pasar malam lengkap dengan penampilan gila-gilaan mereka serta segala keluh kesah mereka mulai dari beberapa cedera yang mereka pernah alami sebagai resiko pekerjaan hingga kisah kasih dengan tambatan hati mereka di pasar malam.

Senin, 18 Mei 2015

Epen Cupen The Movie (2015)



Pasca keberhasilan luar biasa baik secara komersil maupun kualitas yang ditorehkan Comic 8 pada awal tahun 2014 lalu, para comic (Sebutan dari pelaku Stand Up Comedy) yang terlibat dalam film komedi-aksi tersebut perlahan menunjukkan eksitensi di dunia perfilman Indonesia. Para comic kini laris manis menghiasi beberapa judul film dari berbagai genre baik sebagai pemeran utama maupun sebagai pemain pendamping. Tak dipungkiri, para comic punya pesona komedi yang dianggap fresh dan mampu menggaet penonton khusunya para penonton muda. Salah satu dari mereka adalah Babe Cabita dimana dampak dari penampilannya di Comic 8 pria berambut kribo ini mulai malang melintang menghiasi layar lebar. Dan yang terbaru adalah film komedi-aksi berjudul, Epen Cupen The Movie.

Epen Cupen The Movie berkisah tentang Celo (Klemen Awi), pemuda asal Papua yang mendapat mandat dari ayahnya untuk mencari saudara kembarnya yang terpisah sejak kecil. Dalam perjalanan mencari saudara kembarnya, Celo bertemu Babe (Babe Cabita) seorang pengusaha bangkrut asal Medan dan Celo pun meminta bantuan kepada Babe untuk membantu mencari saudara kembarnya yang hilang. Pertemuan antara mereka berdua menyeret mereka dalam beberapa masalah hingga akhirnya tanpa disengaja terdampar di Jakarta dan terlibat diantara dua kelompok gangster  yang sedang berseteru.

Jumat, 08 Mei 2015

"How To Make A Perfect X’Mas Eve" : A Perfect Traumatic To Make a Perfect X’Mas Eve





Dengan judul yang mengandung kalimat A Perfect X’mas Eve, How To Make A Perfect X’Mas Eve (HTMAPXE) jauh dari bayangan malam Natal sempurna yang ada dibenak penonton. Film ini tidak menggambarkan sebuah perayaan malam Natal selayaknya manusia normal yang penuh cinta kasih dan aroma kekeluargaan yang hangat.  Namun disitulah menariknya, HTMAPXE layaknya sebuah tutorial bagaimana membuat malam Natal yang tidak biasa dan lebih “berkesan”. Sebuah malam Natal sempurna dengan perspektif berbeda dari single lady bernama Gella Kuncoro.

Jumat, 24 April 2015

“Love Paper” : Lika Liku percintaan dalam karya Eksperimental



Semua manusia pasti pernah merasakan cinta dan punya cerita serta pengalaman cinta masing-masing. Dari sekian banyak ekspresi serta cerita yang diciptakan dari segala keserbamungkinan yang bida dibuat oleh cinta, tak sedikit yang merasakan pengalaman “Manis diawal, asam dibelakang”. Awalnya menjalin cinta, sepasang sejoli saling memahami satu sama lain baik dan buruknya, plus dan minusnya. Bahkan penggalan lirik “All of me love all of you” yang dikutip dari lagu “All of Me” milik John Legend sangat mewakili apa yang mereka rasakan, apa yang mereka sebenarnya sedang toleransikan. Namun seiring berjalannya waktu dan seringnya bertemu, manis itupun perlahan memudar. Tingkat toleransi dan saling memahami-pun perlahan luntur. Dan segala janji pada awal hubungan tinggallah janji. Demikian sedikit yang setidaknya ingin dituturkan oleh “Love Paper”. Sebuah film pendek yang menggunakan cara yang cukup unik dalam menuturkan maknanya.

“LovePaper” berkisah tentang sepasang suami istri yang menjalani hubungan mereka dimana masa-masa manisnya cinta sudah mulai memudar. Diperlihatkan bagaimana mereka sudah mulai tak saling memahami serta tak saling toleransi lagi satu sama lain. Kepekaan antara mereka-pun meluntur terlihat dari tidak memahami keadaan pasangan masing-masing dan mulai hilangnya respect antara mereka. “Love Paper” merupakan love story dimana Kisahnya terasa umum namun cukup menyentil kehidupan dalam hubungan dewasa. Menyindir bahwa hubungan yang tidak lagi dilandaskan kepedulian satu sama lain akan berujung sebagai bencana.

Killers (2014)


Timo Tjahjanto dan Kimo Stamboel akhirnya “Rujuk” kembali!  The Mo Brother,Duet maut yang bertanggung jawab akan “lahirnya” film slasher yang membuat penontonnya “bersenang-senang” akan “pesta” literan darah serta serentetan adegan brutal nan mengerikan dalam “Rumah Dara” pada 2010 kembali meramaikan perfilman lokal setelah “absen” cukup lama sekitar 4 tahun. Kini The Mo Brothers kembali dengan salah satu film yang ditunggu-tunggu oleh penggemar film “sinting” Indonesia berjudul “Killers”.

Selama 4 tahun waktu “Pisah Ranjang” The Mo Brothers bukan tanpa bekas. Timo Tjahjanto pada tahun 2012 tergabung dengan 25 sutradara sinting di dunia dalam film “The ABCs Of Death” dalam segmen “sakit jiwa” L is Libido serta berduet dengan Gareth Evans (The Raid) dalam V/H/S 2 dalam segmen sakit jiwa yang mampu membuat jantung saya berdegup kencang serta pikiran saya terombang-ambing  (ini tidak berlebihan,coba saja sendiri) berjudul “Safe Haven”. Jam terbang serta rentetan filmografi Timo Tjahjanto dan Kimo Stanboel membuat wajar saja kalau “Killers begitu dinantikan dan membuat penggemarnya memiliki ekspetasi berlebih akan film ini.

Garuda (2015) : Lahirnya Superhero Lokal Baru Dengan Rasa Hollywood


Tak banyak cerita-cerita superhero lokal yang diangkat ke layar lebar. Mungkin film Indonesia bertemakan superhero yang paling diingat adalah “Gundala Putera Petir” karya Alm. Lilik Sudjio pada tahun 1981. Alasannya, tentu saja produser-produser sini sudah “jiper” duluan untuk bersaing dengan film superhero hollywood yang jelas lebih familiar di kalangan masyarakat seperti “Spiderman”, “Batman” dan kawan-kawannya. Terlebih tentu saja SDM dan teknologi yang dimiliki belum memadai untuk merealisasikannya agar terlihat “wah” layaknya film superhero di Hollywood. Maka dibutuhkan nyali yang cukup besar untuk memfilmkan kisah superhero di Indonesia sebagai “Idola” baru masyarakat. Hingga di awal 2015, “Garuda” hadir dan mendaulatkan diri sebagai film superhero pertama di Indonesia yang menggunakan teknik CGI (Computer Generated Imagenary).

Merry Riana : Mimpi Sejuta Dollar (2014) : Kisah “Terinspirasi” Dari Sosok Inspiratif


Mengangkat kisah tokoh bersejarah atau sosok yang dianggap sukses kedalam format film belakangan ini menjadi trend sendiri dalam perfilman Indonesia.Tak dipungkiri, nama besar mereka mempengaruhi dalam raihan jumlah penonton. Sebut saja di tahun 2014 ada kisah Likas Ginting dalam “3 Nafas Likas” dan Presiden Indonesia pertama Ir. Soekarno dalam film “Soekarno” yang bahkan dibuat extended Versionnya. Kisah sukses penuh motivasi menjadi sasaran empuk bagi produser film Indonesia untuk menarik penonton dan tentu saja meraup keuntungan dari  kecendrungan minat penonton film Indonesia yang suka disuguhi kisah kisah inspiratif dan “senang” dimotivasi.

Kali ini, MD Pictures mengangkat kisah biopik dari seorang motivator wanita yang cukup terkenal di Indonesia, Merry Riana. Nama Merry Riana mulai terkenal semenjak dia merilis buku “Mimpi Sejuta Dollar” yang ditulis oleh Alberthiene Endah yang  berkisah mengenai perjuangan  hidupnya dan pencapaian  meraih satu juta dollar pertamanya diumur 26 tahun. Buku tersebutlah yang menjadi inspirasi dalam film “Merry Riana : Mimpi Sejuta Dollar”.  

Comic 8 (2014)





Menyatukan 8 Comic (sebutan untuk pelaku stand up comedian) dalam satu film Action comedy? Bisa dibilang sebuah suguhan segar di kala penonton Indonesia terus-terusan suguhkan oleh genre yang itu-lagi-itu-lagi, comic 8 hadir sebagai “warna lain” dalam perfilman lokal.
Tak lain adalah Anggy Umbara, sosok dibalik film “Mama Cake” serta film yang cukup laris tahun lalu, “Coboy Junior The Movie” yang membawa 8 “Pelawak panggung” ini bersanding bersama dalam satu film. Anggy tahu betul kini Stand Up Comedy sedang berada dimasa jayanya dan Anggy-pun tahu bagaimana memanfaatkan hal tersebut. Memanfaatkan “aji mumpung” ini, Anggy menyuguhkan “Comic 8” sebuah film  bergenre Action Comedy yang bisa dibilang sangat jarang diperfilman lokal.

Premis “Comic 8” bisa dibilang unik. Delapan orang perampok yang dibagi dalam 3 komplotan rampok dengan kepentingan berbeda secara tidak sengaja “bersinggungan” diwaktu yang sama ketika mereka berniat merampok Bank INI. Ada Bintang, Fico, dan Babe, rampok amartir yang merampok demi merubah nasib harus bertemu dengan komplotan bertopeng joker (Anggy seperti ingin memparodikan adegan merampok bank yang dilakukan Joker di The Dark Knight) yang terlihat lebih professional yang terdiri dari Ernest,Kemal, dan Arie serta duo perampok “ajaib” Mongol dan Mudy. Selebihnya penonton akan disuguhkan kisah perampokan bank aneh dan kacau ini lengkap dengan hingar bingar suara senapan serta tentu saja kekonyolan-kekonyolan para rampok yang memancing gelak tawa penonton.

Laskar Pelangi Sekuel 2 : Edensor (2013)




Setelah Penantian dan “Perjuangan” yang cukup lama, kelanjutan kisah anak-anak Belitong dalam meraih mimpinya kembali hadir. Mengusung judul “Laskar Pelangi Sekuel 2 : Edensor”, film adaptasi seri ketiga dari tetralogi novel karya Andrea Hirata siap melanjutkan kisah Ikal dan Arai, dua anak Belitong yang menggapai mimpi di Eropa. Kali ini, Riri Riza tidak lagi menyutradarai seri ketiga Laskar Pelangi. “Tongkat estafet” penyutradaraan dilanjutkan oleh sutradara peraih piala citra melalui “3 Hati 2 Dunia 1 Cinta” Benni Setiawan.

“Laskar Pelangi sekuel 2 : Edensor” merupakan kelanjutan kisah Ikal (Lukman Sardi) danArai (Abimana Aryastya) yang melanjutkan kuliah di Sorbonne, Paris berkat beasiswa yang mereka dapatkan. Sepanjang film penonton akan disuguhkan kisah Ikal dan Arai bertahan hidup di negeri orang sambil mewujudkan mimpi mereka. Selain belajar, mereka juga bekerja apa saja mulai dari pelayan restoran hingga pengamen demi mencukupkan kebutuhan hidup serta mengirim uang ke orang tua di Belitong. Kisah Cinta Ikal dan Katya (Astrid Roos) pelajar asal Jerman serta bayang-bayang cinta pertama Ikal, Aling (Shalvynne Chang) turut menghiasi usaha dua anakbelitong ini mengejar cita-cita. Dalam Edensor Ikal terjebak dalam dinamika kehidupannya antara cinta, keluarga di Belitong, mimpi serta persahabatannya dengan Arai.

The Raid 2 : Berandal (2014)



Terhitung dua tahun lebih seminggu setelah film pertamanya yang mampu “menghentak” perfilman lokal serta Internasional dengan aksi martial art yang bisa dikatakan spektakuler, The Raid kembali hadir menyambut mereka yang sudah haus menunggu serentetan aksi pukul-pukulan penuh darah yang “menyenangkan” melalui sekuelnya yang bertajuk “The Raid 2 : Berandal”. Sama seperti sebelumnya, “The Raid 2 : Berandal” masih dinakodai oleh sutradara asal Wales, Gareth Evans (Merantau, The Raid). Film yang sempat tayang di Sundance Film Festival bersama “Killers” karya The Mo Brothers ini memang mengundang hype yang tinggi dari penggemarnya dan tentu saja mengundang ekspetasi yang tinggi terhadap seri kedua dari petualangan Rama di dunia kelam ini. Bukan tanpa alasan, The Raid memang menaruh standar bahwa film action harus mampu membuat penontonnya setidaknya sulit bernafas normal dengan serentetan aksi yang disuguhkan. Mungkin masih terus dikenang dipikiran penonton The Raid akan serentetan aksi gila nan brutal yang seperti non-stop disuguhkan dan pertarungan final antara Rama-Andi-Mad Dog yang gila-gilaan itu. Wajar kalo “The Raid 2 : Berandal” diharapkan mampu melebihi film pertamanya dan memuaskan gairah yang menantikannya.

Slank Gak Ada Matinya (2013)





Mengangkat kisah perjalanan dari seorang Musisi atau Group Band kedalam format Film memang bukan hal yang baru. Sebelumnya pada tahun 1991, Oliver Stone menggarap sebuah film biografi mengenai salah satu band rock terkenal tahun 1960an, “The Doors” . Degan mengusung judul film yang sama dengan nama band-nya, “The Doors” lebih fokus terhadap kisah sang vokalis, Jim Morrison,  yang di perankan oleh Val Kimer. Kini salah satu band rock papan atas Indonesia, Slank, “berkesempatan” kisah mereka diangkat ke dalam film dan dirilis di pengujung tahun 2013 dengan judul “Slank Nggak Ada Matinya”.

“Slank Nggak Ada Matinya” merupakan film yang dibuat untuk menyambut 30tahun Slank Berkarya dibelantika musik nasional. Film ini bisa dikatakan sebagai momentum kiprah Slank dalam berkarya. Film yang disutradarai oleh Fajar Bustomi ini berfokus Slank pada periode akhir  tahun 1996-2000 dimana pada periode ini dianggap Slank mengalami sebuah titik balik yang mengubah Slank hingga menjadi Band Sebesar sekarang ini.  Kisah dimulai dengan bergabungnya Ridho (Ajun Perwira) dan Abdee ( Deva Mahera) mengisi kekosongan personil Slank yang menyisahkan Bimbim (Adipati Dolken), Kaka (Ricky Harun),dan Ivanka (Aaron Shahab) merupakan pembuktian bahwa Slank tidak bubar. Selebihnya Penonton akan diajak menyelami kisah para rocker ini dari saat mereka melakukan tour keliling kota, dikelilingi para gadis, interaksi dengan Slankers (Fans dari Slank) hingga bertarung dengan Narkoba. Kedekatan personil Slank dengan sang manajer yang juga merupakan sosok ibu bagi mereka, Bunda Iffet (Meriam Bellina) juga akan menghiasi kisah perjalan group band legendaris ini.

Senin, 20 April 2015

XXI Short Film Festival 2014


Menayangkan film pendek hasil perlombaan atau festival kedalam medium layar lebar dan didistribusikan secara luas dibioskop memang sesuatu yang bisa dianggap jarang di Indonesia. Adapun film-film pendek yang disertakan dalam festival hanya ditayangkan selama festival itu berlangsung atau di ajak keliling dari festival ke festival lain untuk menemui penontonnya. Sejak tahun lalu, XXI Short Film Festival mencoba untuk mempublikasikan para pemenang festival ini kekhalayak umum dengan diputar dibioskop.

Pada tahun keduanya, XXI Short Film Festival 2014 menayangkan 7 film pendek dari 3 kategori yang berlangsung pada bulan Maret lalu. Ketiga kategori tersebut adalah Film pendek fiksi naratif, film pendek  dokumenter, dan film pendek animasi. Pada kategori  film pendek fiksi naratif ada Horison (Film pendek favorit), Lembar Jawaban Kita (Film pendek fiksi naratif pilihan IMPAS), dan Sepatu Baru (Film pendek fiksi Naratif Terbaik dan Pilihan Media).  Pada kategori Film pendek animasi ada Asiaraya (Special Mention Official Jury untuk Film Pendek Animasi), dan Kitik (Film pendek animasi tebaik dan Pilihan Media). Dan dalam kategori Film pendek documenter ada Akar (Film Pendek dokumenter terbaik dan special mention pilihan media), dan Selamat Tinggal Sekolahku (Film pendek dokumenter pilihan media).

Press Rilis : Rumah Film Indonesia "Blitz Arthouse"



Film adalah sebuah media yang paling lengkap dalam menyampaikan pesan. Melalui seni gerak, suara dan gambar, penonton dapat lebih cepat menangkap sebuah pesan yang disampaikan. Melalui film, sebuah budaya tumbuh dan berkembang, informasi dapat tersampaikan tanpa mengenal jarak dan waktu. Kehadiran blitzmegaplex pada tahun 2007 tumbuh dari semangat tersebut, dan menyadari bahwa film adalah bagian penting dari pertumbuhan budaya sebuah masyarakat, blitz memiliki tanggung jawab untuk juga memajukan dunia perfilman di Indonesia.

Press Rilis : SAE Indonesia



Beberapa tahun belakangan ini, industri kreatif di Indonesia terutama di bidang musik, film dan animasi menjadi bidang profesi yang semakin banyak diminati kaula muda. Dan melihat perkembangan industri kreatif yang meningkat sudah wajar kita menyadari begitu sangat pentingnya peran lembaga pendidikan yang dapat memberikan support atas perkembangan industrinya itu sendiri.

Dengan kehadiran SAE Indonesia dan kerjasamanya dengan SAE Institute yang telah memiliki 47 kampus di berbagai negara dan memiliki pengalaman lebih dari 30 tahun dalam menyalurkan pedidikan di bidang kreatif  seperti Audio Engineering, Film Production dan Animation, diharapkan SAE Indonesia dapat menunjang perkembangan industri kreatif di Indonesia terutama menghasilkan para sumber daya yang berkualitas tinggi setara dengan standar international.

SAE Indonesia telah pindah ke gedung baru di Jl. Pejaten Raya no 31, pasar minggu sejak Agustus 2014 dengan suasana kampus yang kreatif, bersahabat dan facilitas yang canggih dan modern di lengkapi oleh 3 studio audio, ruang green screen, beberapa lab computer, private theatre, auditorium, library dll dan dengan cara pembelajaran vokasional dengan sistim kelas bisa di bilang semi private (kelas kecil Max 18 murid tergantung pelajarannya) kami harap dapat meningkatkan pembelajaran yang terfokus, komunikatif, ber productive, penuh inspirasi bagi para murid.

Soekarno (2013)




Membuat film tentang seorang kepala negara atau Presiden yang pernah memimpin suatu Negara, bisa dikatakan sebagai bentuk penghormatan atas jasanya terhadap negara dan sebagai media memperkenalkan sosok memiliki peran penting, dalam bentuk karya audio visual agar lebih mudah dinikmati oleh orang banyak. Tahun lalu Steven Spielberg menyuguhkan kisah Presiden Amerika Serikat ke-16, Abraham Lincoln, yang diperankan dengan sangat luar biasa oleh Daniel Day-Lewis, dalam film yang berjudul “Lincoln”. Atau film peraih Best Picture 2011, The King’s Speech, yang menceritakan tentang George VI, Raja Inggris yang gagap dan berusaha keras untuk melakukan pidato yang baik. Di Indonesia, kisah mantan presiden Indonesia ke-3, B.J. Habibie, difilmkan tahun lalu dengan judul “Habibie Ainun”. Kisahnya sendiri mengisahkan perjalanan Habibie bersama sang istri, Ainun Habibie, dalam menjalani kehidupan bersama. Kisahnya yang romantis membuat film ini disukai oleh masyarakat dan sukses meraih lebih dari 4 juta penonton.

Setelah Habibie ditahun lalu, pengujung tahun 2013 ini, kisah tentang Presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno diangkat ke layar lebar oleh Hanung Bramantyo dengan Judul “Soekarno”. Film ini mengisahkan perjuangan sang “Proklamator” dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Film dimulai dengan adegan penggerebekan terhadap kediaman Dr. Soejoedi oleh tentara Belanda yang berakhir pada penangkapan Sukarno pada tahun 1929. Kemudian alur cerita bergerak mundur ke tahun 1912, dimana Kusno, seorang anak berusia 11 tahun yang sering sakit-sakitan, oleh bapaknya diganti namanya menjadi Sukarno, dengan harapan kelak menjadi ksatria layaknya tokoh pewayangan Adipati Karno dengan ritual khas Jawa.

Komunitas Gudang Film



“Untuk apa nonton film Indonesia? Gak berkualitas. Tiket bioskop kan mahal mending nonton film Hollywood”. Yang barusan adalah salah satu contoh pernyataan cukup “menyakitkan” dari beberapa penonton bioskop di Indonesia  dikala diajak nonton film Indonesia. Kini calon penonton ketika menghampiri tempat penjualan tiket di Bioskop kebanyakan lebih memilih film-film “blockbuster” khas Hollywood dibanding film lokal yang saat itu juga tayang. Film Lokal seperti diacuhkan dinegeri sendiri. Daripada harus menonton dibioskop, beberapa penonton pun lebih memilih menunggu di televisi atau mendownload di Internet film-film Indonesia. Dampaknya, jumlah penonton Indonesia yang memperihatinkan. Jangankan untuk menembus 1 juta penonton, 100ribu-pun Film Indonesia sudah kembang-kempis untuk menembusnya. Suatu fakta yang cukup memprihatinkan terhadap kondisi penonton bioskop film Indonesia.

Atas keprihatinan akan kondisi tersebut serta diiringi rasa cinta dan keinginan mendukung film lokal, beberapa anak muda yang berdomisili di Jakarta membentuk komunitas Gudangfim. Komunitas yang terbentuk pada 1 januari 2013 ini terbentuk akan kesadaran bahwa Film Indonesia tak berarti apa-apa tanpa penontonnya. Dengan mengusung Jargon “Gerakan Nonton di Bioskop”, Gudangfilm mengajak masyarakat Indonesia secara luas untuk menonton film-film Indonesia di Bioskop. Tentu dengan harapan perfilman Indonesia mampu terus “eksis” di negerinya sendiri.

Manusia Setengah Salmon (2013)


“Hidup adalah Kumpulan perpindahan kecil dan kita terjebak didalamnya”.

Raditya Dika kembali menghiasi perfilman Indonesia. Pada tahun ini saja, Dika telah membintangi (dan juga turut menulis naskah) 3 judul Film.Diawali dengan “Cinta Brontosaurus” yang merupakan adaptasi dari novel kedua karya Dika yang berjudul sama dengan filmnya. Film yang disutradarai oleh Fajar Nugros (Cinta disaku celana) ini mampu menggaet penonton film Indonesia dengan jumlah penonton sekitar 800ribuan dan mengukuhkan diri sebagai pemuncak dalam jumlah raihan penonton film Indonesia tahun 2013 sampai saat ini. Keberhasilan serial komedi berdurasi pendek yang tayang di-Youtube (dan tayang juga di Kompas Tv) “Malam Minggu Miko” yang mampu membuat penggemar Dika menanti-nanti kehadiran serial komedi ini tiap minggunya, “digarap” menjadi sebuah film layar lebar dengan disutradari oleh Salman Aristo (Jakarta Maghrib) dengan Judul “Cinta Dalam Kardus”. Film yang rilis hanya berselang sekitar 1 bulan dari perilisan “Cinta Brontosaurus” ini tetap mampu menuai jumlah penonton yang cukup tinggi. Sekitar 200ribu pasang mata menyaksikan film ini dibioskop ditengah fenomena menurunnya jumlah penonton Indonesia.  Kini Dika kembali hadir, dengan film adaptasi dari buku keenamnya, “Manusia Setengah Salmon” yang merupakan film ketiga Raditya Dika pada tahun ini.

Isyarat (2013)


“Indie Movie Goes To Cinema”, sebuah semangat yang digembar-gemborkan kepada khalayak luas mengiringi rilisnya “Isyarat” di Bioskop. Memang “Isyarat” Lahir dari “Rahim” komunitas Lingkar Alumni Indie Movie, sebuah komunitas para alumni dari peserta LA Light Indie Movies yang selama 7 tahun konsisten melakukan workshop dan serangkaian pelatihan lain untuk  para calon moviemakers muda yang mempunyai passion didunia film. “Isyarat” merupakan gebrakan bagi penggiat film Indie yang memiliki tujuan agar film-film pendek mereka bisa turut serta meramaikan bioskop nasional. Ya sebagaimana kita tahu bahwa kebanyakan film pendek Indie sangat sulit memiliki tempat di bioskop lokal dan festival-festival Film lah tempat para sineas film Indie menunjukan karya mereka.

FILMARES 2014



Di tengah tingginya kesadaran dan semangat untuk menjadikan industri kreatif sebagai salah satu industri unggulan di Indonesia, FILMARES 2014 hadir untuk memperkenalkan “dapur” dibalik film-film yang beredar dipasaran berupa perusahaan, komunitas, atau individu yang berkecimpungng di balik layar industri perfilman baik dalam dan luar negeri, baik baru maupun yang telah lama dikenal oleh para pembuat film di Indonesia.

Mokino.co Cinema Shelter Vol. 1


Cinema Shelter Vol.1 merupakan kegiatan yang mempertemukan para pembuat film dengan para penikmat film untuk berbagi ilmu dan pengalaman dalam proses pembuatan film. Acara yang berlangsung pada hari Sabt, 4 Oktober 2014 di SAE Institue Pejaten diselenggarakan oleh Mokino.co , media online yang berfokus pada Industri film bekerja sama dengan Oreima Films.
Saat menonton film, terkadang banyak kesan dan Tanya menyelimuti benak penonton selepas film usai. Pertanyaan-pertanyaan dibalik layar saat proses pembuatan film seperti efek dan make-up, penggarapan musik yang mampu mempengaruhi mood menonton dan sebagainya. Untuk itulah Cinema Shelter hadir sebagai jawaban dari segala hal yang berhubungan dengan proses dan desain produksi  sebuah film kepada penikmat film dengan metode talkshow langsung dari sineas yang menggarapnya.

Hari Film Nasional 2014


Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) bekerjasama dengan Badan Perfilman Indonesia (BPI) menyelenggrakan Peringatan Hari Film Nasional (HFI) ke-64. Puncak acara peringatan Hari Film Nasional ke-64 yang berlangsung pada Selasa, 1 April 2014 di XXI Djakarta Theater. Acara berlangsung meriah dengan dihadiri oleh para penggiat dunia film tanah air yang tidak mau melewatkan moment peringatan akan perkembangan film di Indonesia.

Dengan mengusung tema “Bangga Film Indonesia”, Hari Film Nasional ke-64 memiliki beberapa rangkaian acara. Dimulai dengan roadshow sekaligus diskusi film “9 Summer 10 Autumn” dan “Sagarmatha” di Semarang dan Banjarnegara yang dimeriahkan oleh sutradara dan artis pendukungnya pada tanggal 27 Maret 2014. Dihari yang sama, Dr. Seno Gumira Ajidarma melakukan orasi sinema di Galeri Indonesia Kaya , Mall Grand Indonesia yang bertajuk “Film Indonesia dan Identitas Nasional dalam Kondisi Pascanasional.  Serta dilakukan juga pemutaran serta diskusi film dan pelatihan singkat pemeranan oleh Rumah Aktor Indonesia (RAI)  di 7 SMP dan SMA di Jabodetabek yang berlangsung dari tanggal 27 Maret hingga 4 April 2014.

Rindu Kami PadaMu (2004)





“Teman-teman, hari ini aku ingin bercerita tentang tempat tinggalku, sebuah pasar kecil ditengah kota Jakarta.Aku mau bercerita tentang sajadah dan telur ayam sahabatku”. - Rindu

Asih (Putri Mulia), Gadis kecil yang selalu menghalau setiap orang mengisi sejadah kosong disamping kanannya untuk memberi ruang kepada ibunya yang entah kemana. Lalu ada Bimo (Sakurta Ginting), adik dari seorang penjual telur yang “terobsesi”  dengan wanita cantik yang tinggal didekat rumahnya Dan Rindu (Raisha Pramesi) gadis kecil Tunarungu yang selalu menggambar masjid tanpa kubah. Melalui ketiga anak inilah, penonton akan dibawa kedalam karya ketujuh dari sutradara Garin Nugroho, Rindu Kami Padamu.

Rindu Kami Padamu memvisualkan sebuah interaksi sosial di pasar tradisional secara apa adanya dan natural. Mengangkat kisah hidup rakyat kelas bawah yang “terkurung” dalam sebuah tempat mencari nafkah dengan treatment yang sederhana dan terasa membumi. Film ini mencoba menggambarkan situasi serta kehidupan masyarakat pasar tradisional dimana mereka tinggal dan bekerja didalamnya dengan beberapa polemik yang menyertai yang dibawakan dengan fokus persoalan yang dialami oleh tiga tokoh anak didalamnya.

Malam Minggu Miko Movie (2014)


Dalam tiga tahun terakhir, Setidaknya Raditya Dika, sosok fenomenal dikalangan anak muda, telah menelurkan 5 film yang berdasarkan ide-ide kreatifnya baik dari adaptasi novel atau web-series yang dia buat. Belum lama rasanya penonton film Indonesia disuguhi dengan karya penyutradaraan perdananya dalam “Marmut Merah Jambu”, bulan September ini, kisah Miko kembali diangkat ke layar lebar dengan judul “Malam Minggu Miko Movie”
Malam Minggu Miko Movie merupakan film yang diangkat dari Webseries dan TV series berjudul Malam Minggu Miko yang disutradari, ditulis, dan diperankan sendiri oleh Raditya Dika. Webseries Malam Minggu Miko sendiri meraih “The Most Popular Show” dalam ajang “Internet Video Stars 2013” dan sudah mencapai 52 episode yang ditonton oleh lebih dari 1 juta penonton. Raihan yang baik tersebut sudah menjadi modal bagus untuk mengangkat kisah Miko dan malam minggu “nestapanya” tersebut kedalam medium film. Terlebih film pertama “Miko” yang rilis tahun lalu, “Cinta Dalam Kardus” bisa dikatakan berhasil baik dari segi kualitas film maupun dari raihan jumlah penonton.

"Barbie" : Like Mother Like Daughter


Sejak awal film pendek “Barbie” bergulir, penonton akan disuguhkan dengan penampilan seorang gadis kecil kira-kira masih duduk di bangku kelas 1 SD bersama dua orang teman sebayanya dimana mereka berdandan ala perempuan socialita ibukota. Selebihnya penonton akan menyaksikan bagaimana pola tingkah ketika gadis belia tersebut berlaku layaknya sudah dewasa mulai dari cara berpakaian, make-up, cara dan kosakata berbicara hingga melakukan hal-hal “hebring” khas ibu-ibu muda gaul seperti makan cocktail, pamer baju mewahnya hingga tentu saja gosip dengan teman sejawatnya. Melalui ketiga pola tingkah “bocah tua” inilah ada pesan yang ingin disampaikan “Barbie” kepada penontonnya.

"Gundah Gundala" : Komedi Satir Terhadap Eksistensi Superhero Lokal


Bila ditanya “Siapa superhero lokal yang anda kenal?” untuk mereka yang besar tahun 70 hingga 90an atau minimal seumuran saya mungkin dengan (agak) mudah menjawab Gundala Putra Petir, Gatot Kaca, atau Si Buta dari Goa Hantu. Namun bila ditanya kepada anak kecil era sekarang apakah mereka bisa menjawab? Kalaupun mereka bisa menjawab perbandingannya lebih sedikit dibanding yang tidak. Atau bahkan mereka akan menjawab Bima Satria Garuda, sosok superhero yang rajin menghiasi layar kaca tiap minggu pagi , memang diperankan oleh orang Indonesia dan settingnya juga Indonesia namun Bima Satria Garuda terlalu banyak Influence dari tokokatsu Jepang. Saat ini anak-anak jauh mengenal bahkan mengidolakan sosok superhero mancanegara layaknya  tokoh-tokoh karakter Marvel dan DC Comic yang jelas telah punya nama besar seperti  Ironman, Superman, Batman, dan konco-konconya. Jelas terjadi semacam fenomena budaya yang merisaukan karena salah satu warisan budaya lokal di “bidang” superhero mulai tergerus dan bahkan kalah jauh dengan produk import Hollywood. Kira-kira itulah yang ingin disampaikan dalam “Gundah Gundala”.

Kemana Bioskop Indonesia ?


Agak miris melihat kenyataan bahwa Film Indonesia seperti semakin ditinggalkan oleh penonton film di Indonesia. Hal ini bisa terlihat dari perolehan jumlah penonton pada tahun 2013. Beberapa film yang diunggulkan dan diprediksi mampu mendulang jumlah penonton pun masih sulit untuk meraih satu juta penonton. Bahkan beberapa film justru mengalami flop dari sisi jumlah penonton.

Pada tahun 2013 lalu, hanya ada dua film Indonesia yang dirilis, berhasil meraih lebih dari satu juta penonton, yaitu film 99 Cahaya di Langit Eropa dan Tenggelamnya kapal Van Der Wijck. Sebagai peraih penonton terbanyak, film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck hanya memperoleh 1,7 juta penonton. Perolehan ini tidak sampai setengah dari perolehan penonton film Habibie dan Ainun pada tahun 2012, yang mampu meraih 4,2 juta penonton.
Menurut Data yang dipaparkan Nurwan Hadiyono, Kepala Subdirektorat Produksi Film, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia, menunjukkan bahwa pada tahun 2013 lalu, hanya sekitar 15,5 juta orang yang menonton film Indonesia. Angka ini mengalami penurunan bila dibandingkan dengan tahun 2012 yang mampu menggaet 18 juta penonton. Bila dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 240 juta jiwa, film Indonesia tahun lalu hanya mampu menarik paling tidak 7% dari jumlah penduduk Indonesia. Apakah hal ini menunjukkan kurangnya apresiasi penduduk Indonesia terhadap perfilman Indonesia? Kalau iya, lantas apa penyebabnya? Siapa yang bertanggung jawab?.

Cahaya Dari Timur : Beta Maluku (2014)


Setelah 4 tahun selepas merilis “Hari Untuk Amanda” pada tahun 2010, sutradara Angga Dwimas Sasongko kini kembali hadir dengan film terbarunya yang berjudul “Cahaya Dari Timur : Beta Maluku”.  Ni Beta Maluku merupakan film pertama dari rangkaian seri Cahaya Dari Timur yang mengangkat kisah-kisah inspiratif dari Indonesia Timur.

Cahaya Dari Timur : Beta Maluku mengangkat kisah nyata dari kehidupan Sani Tawainella (Chicco Jericho) seorang mantan pemain sepak bola asal Tulehu, Ambon yang sempat mewakili Indonesia pada Piala Pelajar Asia tahun 2016 namun gagal dalam seleksi PSSI Baretti. Kegagalan menjadi pemain sepakbola professional membuatnya pulang kampung dan menjadi tukang ojek untuk menghidupi keluarganya. Pada saat konflik Maluku pecah awal tahun 2000-an, Sani mengumpulkan anak-anak Tulehu untuk berlatih sepak bola dengan tujuan menghindari anak-anak tersebut dari konflik. Ditengah segala kekurangan serta problematika ekonomi dan keluarga yang dialami Sani, Sani berhasil membangun tim yang  menjadi kebanggan Tulehu dengan mampu mewakili Maluku dalam kejuaran Nasional U-15 2006 di Jakarta.

A Documentary of Mocca : Life Keeps on Turning (2011)



Diranah musik Indonesia terutama aliran indie, Nama band Mocca cukup dikenal oleh khalayak masyarakat. Memiliki sejumlah hits yang terkenal (Beberapa menjadi soundtrack film seperti Catatan Akhir Sekolah dan Untuk Rena) membuat Mocca memiliki jumlah penggemar yang banyak dan terkenal loyal. Band beraliran Pop Indie asal Bandung ini pada Juli 2011 memutuskan untuk rehat dan membuat “Konser Perpisahan” yang tentu saja membuat para Swinging Friends (Julukan untuk penggemar Mocca) merasa sedih. Dalam masa rehat Mocca, Film dokumenter berjudul “A Documentary of Mocca : Life Keeps on Turning“ serasa sebagai penawar rindu para fans akan band kesayangan mereka.

“A Documentary of Mocca : Life Keeps on Turning“ berkisah mengenai momen-momen terakhir Mocca sebelum memutuskan untuk Vacum manggung bersama dikarenakan keputusan Arina sang vokalis untuk melepas masa lajangnya dengan pria asal Amerika Serikat bernama Chris Miller yang otomatis membuat Arina mengikuti suaminya ke negeri paman Sam. Film dokumenter yang lebih terlihat seperti concert documentary atau lebih dikenal dengan istilah rockumentary ini menggabungkan footage-footage dari beberapa penampilan penampilan band yang terdiri dari Arina Ephipania (vokal dan flute), Riko Prayitno (gitar), Ahmad Pratama atau Toma (bass) dan Indra Massad (drum ) pada konser perpisahan mereka di Jakarta dan “Secret Gigs” di ITENAS BANDUNG tempat dimana awal mereka “disatukan” .

"Merindu Mantan" : The Scariest Effect of Broken Heart




Apabila mendengar kata “merindu mantan” sontak yang terlintas adalah kegalauan yang sekarang seakan menjadi “musim” dikalangan remaja. Perasaan dimana hati terasa perih dan tentu saja menyakitkan ini di ekspresikan secara beragam dan yang lagi hits saat ini adalah dalam bentuk meme. Banyak sekali meme-meme lucu yang mengangkat isu tentang kegalauan atas mantan kekasih seakan tak ada habisnya bahan untuk mengeksploitasi kegalauan akan mantan. Hasilnya selalu menghibur dan ada saja hal yang baru dan lucu muncul seakan menyindir dengan cara yang menghibur pembacanya dan terasa dekat dengan yang pernah dialami. Dan bila berpikiran bahwa film pendek “Merindu Mantan” akan sama lucu dan menghibur layaknya meme-meme tentang mantan, buang jauh pikiran tersebut karena kalian salah besar.

“Merindu Mantan” berkisah tentang Asih (Aimee Saras) seorang gadis desa yang hatinya rapuh karena dikhianati oleh mantan kekasihnya, Joni (Rangga Djoned) yang divisualisasikan sebagai playboy kampung. Perlahan namun pasti, Asih menyuguhkan kegalauan yang begitu besar yang menuntunnya ke sisi gelap dan mistis dalam dirinya dan memutuskan untuk menyantet mantan kekasihnya sebagai “kenang-kenangan” perpisahan mereka.