Jumat, 24 April 2015

Garuda (2015) : Lahirnya Superhero Lokal Baru Dengan Rasa Hollywood


Tak banyak cerita-cerita superhero lokal yang diangkat ke layar lebar. Mungkin film Indonesia bertemakan superhero yang paling diingat adalah “Gundala Putera Petir” karya Alm. Lilik Sudjio pada tahun 1981. Alasannya, tentu saja produser-produser sini sudah “jiper” duluan untuk bersaing dengan film superhero hollywood yang jelas lebih familiar di kalangan masyarakat seperti “Spiderman”, “Batman” dan kawan-kawannya. Terlebih tentu saja SDM dan teknologi yang dimiliki belum memadai untuk merealisasikannya agar terlihat “wah” layaknya film superhero di Hollywood. Maka dibutuhkan nyali yang cukup besar untuk memfilmkan kisah superhero di Indonesia sebagai “Idola” baru masyarakat. Hingga di awal 2015, “Garuda” hadir dan mendaulatkan diri sebagai film superhero pertama di Indonesia yang menggunakan teknik CGI (Computer Generated Imagenary).


Walaupun Gembar-gembor dan pede yang besar bahwa “Garuda” menggunakan teknologi CGI layaknya film superhero di Hollywood, namun sangat tak adil bila film arahan X.jo ini dibandingkan dengan film-film Hollywood sana yang punya modal yang jauh lebih besar serta teknologi dan SDM yang mumpuni. Namun, amat disayangkan apa yang disuguhkan “Garuda” jauh dari kata standar. Film yang menggunakan 90% teknik CGI ini compositing antara live action dengan efek atau backgroundnya masih terasa kasar dan sangat jauh dari kata rapih. Beberapa efek memang terlihat bagus namun lebih banyak yang tidak nyaman untuk mata. Beberapa background yang menggunakan stock photo (beberapa ceritanya mengambil setting diluar negeri) dengan kualitas pixel yang kecil. Hasilnya, ngeblur alias pecah ketika diterapkan. Beberapa adegan yang sebenarnya masih bisa digarap tanpa CGI, seperti parkiran hotel,  deretan mobil mewah dan bendera berkibar, ikut-ikutan digarap dengan CGI sehingga malah terlihat lebay. Sekali lagi memang tak etis membandingkan dengan film superhero Hollywood, tapi cobalah tengok Negara tetangga, film Cicak-man asal Malaysia bahkan jauh lebih baik dan membuat apa yang disuguhkan dalam film Garuda terlihat memalukan.

Dengan efek CGI yang alakadarnya, setidaknya “Garuda” harusnya menyuguhkan plot cerita yang menarik agar “kegagalan” tersebut tak terasa dan termaafkan, namun sayangnya tidak. “Garuda” sebenarnya punya kisah yang menarik, Bumi dalam bahaya karena Asteroid besar akan menimpa dan jatuh tepat di Indonesia dan senjata penghancur asteroid tersebut dicuri oleh penjahat, sayangnya penggarapannya tidak didukung dengan naskah yang baik. Sangat terasa beberapa adegan hasil comot sana-sini dari beberapa film diantaranya Seri Batman-nya Nolan dan The Avengers. “Garuda” sebenarnya ingin banyak bercerita banyak dengan plot yang bercabang, namun terlihat dipaksakan dan malah jadi tak berguna. Banyak karakter yang sia-sia yang sebenarnya tak terlalu berarti dalam alur cerita. Hasilnya, banyak adegan yang jadi tidak jelas. Contohnya, siapa bapak-bapak bule di ending yang tiba-tiba muncul dan melumpuhkan penjahatnya. Sayang sekali niat baik menggarap film superhero baru di Indonesia namun tidak didukung skenario dan penggarapan yang masih mentah.

Sejatinya, sosok superhero haruslah dapat dicintai oleh penontonnya sehingga penonton menggemari sosok superhero tersebut. Nyatanya, Rizal Al Idrus gagal memerankan sosok Garuda sang superhero utama dalam film ini. Aktingnya yang kaku dan seadanya membuat Garuda terlihat biasa saja dan tidak spesial. Terlebih tampilannya yang hampir mirip Batman hanya saja tak pakai jubbah dan ada tempelan bendera merah putih. Hal ini ditambah bahwa  X.Jo kurang mengeksplor Garuda itu sendiri. Seharusnya kehebatan Garuda ditunjukan lebih dalam lagi agar penonton jatuh hati pada pahlawan super ini entah dari senjata yang digunakan atau jurus khusunya. Disini Garuda terlihat hanya kuat dan jago berkelahi. Penampilan aktor kawakan Slamet Rahardjo yang memerankan tokoh villain bernama Durja King mampu mencuri perhatian. Slamet Rahardjo sukses memerankan tokoh villain komikal ala-ala Joker di “The Dark Knight” yang rada gila dan penuh terror. Selain Slamet Rahardjo, Agus Kuncoro juga bermain cukup baik di film ini sebagai polisi yang bergaya ala Deddy Dores. Namun lagi-lagi kemampuan akting yang ditunjukkan Slamet Rahardjo dan Agus Kuncoro tetap tidak bisa menyelamatkan film ini. X.Jo kurang terampil “menjait” adegan demi adegan dalam “Garuda”. film ini terasa tidak runut alurnya sehingga agak sulit dinikmati. Sejak awal film ini menggunakan tempo agak cepat namun beberapa adegan jadi terasa berlalu begitu saja. Tempo yang cepat membuat adegan aksi seperti fighting dalam film ini jadi tidak jelas padahal dibeberapa adegan koreografinya bagus. Beruntung tata musik dalam film ini yang digarap Aghi Narottama bekerja dengan baik sehingga beberapa adegan terdengar mewah walaupun visualnya tidak.


Sebenarnya “Garuda” memiliki potensi yang cukup baik. Sayangnya, ambisi  10 Tahun X.Jo merealisasikan superhero impiannya ini tidak didukung dengan penggarapan yang baik. Faktor dana yang tidak terlalu besar, SDM dan teknologi dalam penggarapan efek CGI yang tidak memadai, skrip yang lemah, dan tentu saja X.Jo yang masih harus banyak belajar mengenai Film. Film ini susah untuk dinikmati dengan tulus. Bahkan saya jauh lebih terhibur menonton “Bima Satria Garuda” di salah satu TV Swasta pada hari minggu. Namun niat baik X.Jo beserta team dalam menghidupkan superhero lokal harus tetap diapresiasikan. Semoga kedepannya “Garuda” digarap lebih serius lagi (Karena sepertinya akan ada sekuel selanjutnya). Mengutip perkataan X.Jo sendiri yang kurang lebih “Garuda menjadi patokan standar paling bawah untuk film superhero lain kedepannya” dan itu hukumnya wajib kudu harus bagi filmmaker lokal lain untuk lebih baik daripada “Garuda” apabila ingin membuat film superhero. Entah apa jadinya bila film superhero kedepannya levelnya di bawah “Garuda”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar