Tak banyak cerita-cerita superhero lokal yang diangkat ke
layar lebar. Mungkin film Indonesia bertemakan superhero yang paling diingat
adalah “Gundala Putera Petir” karya Alm. Lilik Sudjio pada tahun 1981.
Alasannya, tentu saja produser-produser sini sudah “jiper” duluan untuk
bersaing dengan film superhero hollywood yang jelas lebih familiar di kalangan
masyarakat seperti “Spiderman”, “Batman” dan kawan-kawannya. Terlebih tentu
saja SDM dan teknologi yang dimiliki belum memadai untuk merealisasikannya agar
terlihat “wah” layaknya film superhero di Hollywood. Maka dibutuhkan nyali yang
cukup besar untuk memfilmkan kisah superhero di Indonesia sebagai “Idola” baru
masyarakat. Hingga di awal 2015, “Garuda” hadir dan mendaulatkan diri sebagai
film superhero pertama di Indonesia yang menggunakan teknik CGI (Computer
Generated Imagenary).
Walaupun Gembar-gembor dan pede yang besar bahwa “Garuda”
menggunakan teknologi CGI layaknya film superhero di Hollywood, namun sangat
tak adil bila film arahan X.jo ini dibandingkan dengan film-film Hollywood sana
yang punya modal yang jauh lebih besar serta teknologi dan SDM yang mumpuni.
Namun, amat disayangkan apa yang disuguhkan “Garuda” jauh dari kata standar. Film
yang menggunakan 90% teknik CGI ini compositing antara live action dengan efek
atau backgroundnya masih terasa kasar dan sangat jauh dari kata rapih. Beberapa
efek memang terlihat bagus namun lebih banyak yang tidak nyaman untuk mata. Beberapa
background yang menggunakan stock photo (beberapa ceritanya mengambil setting
diluar negeri) dengan kualitas pixel yang kecil. Hasilnya, ngeblur alias pecah
ketika diterapkan. Beberapa adegan yang sebenarnya masih bisa digarap tanpa
CGI, seperti parkiran hotel, deretan
mobil mewah dan bendera berkibar, ikut-ikutan digarap dengan CGI sehingga malah
terlihat lebay. Sekali lagi memang tak etis membandingkan dengan film superhero
Hollywood, tapi cobalah tengok Negara tetangga, film Cicak-man asal Malaysia bahkan
jauh lebih baik dan membuat apa yang disuguhkan dalam film Garuda terlihat
memalukan.
Dengan efek CGI yang alakadarnya, setidaknya “Garuda” harusnya
menyuguhkan plot cerita yang menarik agar “kegagalan” tersebut tak terasa dan
termaafkan, namun sayangnya tidak. “Garuda” sebenarnya punya kisah yang
menarik, Bumi dalam bahaya karena Asteroid besar akan menimpa dan jatuh tepat
di Indonesia dan senjata penghancur asteroid tersebut dicuri oleh penjahat,
sayangnya penggarapannya tidak didukung dengan naskah yang baik. Sangat terasa
beberapa adegan hasil comot sana-sini dari beberapa film diantaranya Seri
Batman-nya Nolan dan The Avengers. “Garuda” sebenarnya ingin banyak bercerita
banyak dengan plot yang bercabang, namun terlihat dipaksakan dan malah jadi tak
berguna. Banyak karakter yang sia-sia yang sebenarnya tak terlalu berarti dalam
alur cerita. Hasilnya, banyak adegan yang jadi tidak jelas. Contohnya, siapa
bapak-bapak bule di ending yang tiba-tiba muncul dan melumpuhkan penjahatnya. Sayang
sekali niat baik menggarap film superhero baru di Indonesia namun tidak
didukung skenario dan penggarapan yang masih mentah.
Sejatinya, sosok superhero haruslah dapat dicintai oleh
penontonnya sehingga penonton menggemari sosok superhero tersebut. Nyatanya,
Rizal Al Idrus gagal memerankan sosok Garuda sang superhero utama dalam film
ini. Aktingnya yang kaku dan seadanya membuat Garuda terlihat biasa saja dan
tidak spesial. Terlebih tampilannya yang hampir mirip Batman hanya saja tak
pakai jubbah dan ada tempelan bendera merah putih. Hal ini ditambah bahwa X.Jo kurang mengeksplor Garuda itu sendiri. Seharusnya
kehebatan Garuda ditunjukan lebih dalam lagi agar penonton jatuh hati pada
pahlawan super ini entah dari senjata yang digunakan atau jurus khusunya.
Disini Garuda terlihat hanya kuat dan jago berkelahi. Penampilan aktor kawakan
Slamet Rahardjo yang memerankan tokoh villain bernama Durja King mampu mencuri
perhatian. Slamet Rahardjo sukses memerankan tokoh villain komikal ala-ala
Joker di “The Dark Knight” yang rada gila dan penuh terror. Selain Slamet
Rahardjo, Agus Kuncoro juga bermain cukup baik di film ini sebagai polisi yang
bergaya ala Deddy Dores. Namun lagi-lagi kemampuan akting yang ditunjukkan
Slamet Rahardjo dan Agus Kuncoro tetap tidak bisa menyelamatkan film ini. X.Jo
kurang terampil “menjait” adegan demi adegan dalam “Garuda”. film ini terasa
tidak runut alurnya sehingga agak sulit dinikmati. Sejak awal film ini
menggunakan tempo agak cepat namun beberapa adegan jadi terasa berlalu begitu
saja. Tempo yang cepat membuat adegan aksi seperti fighting dalam film ini jadi
tidak jelas padahal dibeberapa adegan koreografinya bagus. Beruntung tata musik
dalam film ini yang digarap Aghi Narottama bekerja dengan baik sehingga
beberapa adegan terdengar mewah walaupun visualnya tidak.
Sebenarnya “Garuda” memiliki potensi yang cukup baik.
Sayangnya, ambisi 10 Tahun X.Jo merealisasikan
superhero impiannya ini tidak didukung dengan penggarapan yang baik. Faktor
dana yang tidak terlalu besar, SDM dan teknologi dalam penggarapan efek CGI
yang tidak memadai, skrip yang lemah, dan tentu saja X.Jo yang masih harus
banyak belajar mengenai Film. Film ini susah untuk dinikmati dengan tulus.
Bahkan saya jauh lebih terhibur menonton “Bima Satria Garuda” di salah satu TV
Swasta pada hari minggu. Namun niat baik X.Jo beserta team dalam menghidupkan
superhero lokal harus tetap diapresiasikan. Semoga kedepannya “Garuda” digarap
lebih serius lagi (Karena sepertinya akan ada sekuel selanjutnya). Mengutip perkataan
X.Jo sendiri yang kurang lebih “Garuda menjadi patokan standar paling bawah
untuk film superhero lain kedepannya” dan itu hukumnya wajib kudu harus bagi
filmmaker lokal lain untuk lebih baik daripada “Garuda” apabila ingin membuat
film superhero. Entah apa jadinya bila film superhero kedepannya levelnya di
bawah “Garuda”.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar